Stop Limbah Batik Warisan Dunia!
Deretan mobil bernomer polisi luar kota berjajar
terparkir di halaman rumah kerajinan Batik Soga, Laweyan, Surakarta.
Mobil-mobil berplat nomer polisi Jakarta, Bandung, Surabaya, bahkan BK
Medan, kini menjadi pemandangan umum di Kampoeng Batik Laweyan. Salah
satu tempat tujuan wisata di Kota Solo ini lebih ramai lagi dikunjungi
saat musim liburan tiba. Tidak hanya industri rumahan batik yang meraup
keuntungan. Industri produk makanan skala rumahan khas Solo, perhotelan,
hingga pengemudi becak dan tukang parkir ikut menikmati rejeki dari
industri ini.
Batik memang tengah menjadi primadona. Bahkan pada tanggal 2 Oktober 2009 lalu, Badan Kebudayaan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) UNESCO telah mengakui batik sebagai warisan budaya dunia khas Indonesia. Tidak heran jika Kota Solo, selain Pekalongan dan Yogyakarta, yang menjadi icon Kota Batik, terus menggenjot produksi batik. Sentra industri kerajinan batik tradisional yang pernah gulung tikar dihidupkan kembali.
Pelestarian batik oleh Pemerintah Kota Surakarta sangat penting diapresiasi dan didukung. Namun, stigma yang menyebut bahwa selain menjadi warisan budaya dunia, limbah batik juga menjadi warisan dunia harus segera dihentikan.
*Warga pinggir kali yang terpapar limbah batik
Sumber: http://green.kompasiana.com
Batik memang tengah menjadi primadona. Bahkan pada tanggal 2 Oktober 2009 lalu, Badan Kebudayaan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) UNESCO telah mengakui batik sebagai warisan budaya dunia khas Indonesia. Tidak heran jika Kota Solo, selain Pekalongan dan Yogyakarta, yang menjadi icon Kota Batik, terus menggenjot produksi batik. Sentra industri kerajinan batik tradisional yang pernah gulung tikar dihidupkan kembali.
Guna mendongkrak popularitas Batik
Solo, Pemerintah Kota Solo menggelar Karnaval Batik Solo atau Solo Batik
Carnival (SBC). Event tahunan ini diadakan setiap bulan Juni sejak
tahun 2008. SBC juga kerap ditampilkan dalam karnaval-karnaval yang
dilaksanakan di Kota Solo.
Bak gayung bersambut, dukungan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada ‘Intangible Cultural Heritage’ ini pun sangat besar. Dua tahun lalu, Presiden
meresmikan pembukaan ‘World Batik Summit 2011’ di Jakarta Convention
Center. Dalam acara bertema Indonesia Global Home of Batik ini, Presiden
mengingatkan bahwa setiap tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari
Batik Nasional.
Oleh geliat promosi dan dukungan
dari pelbagai kalangan, para muda kini tidak malu lagi mengenakan batik.
Aktifitas membatik dari puluhan pengrajin rumahan mampu meraup omset
hingga ratusan juga rupiah per harinya.
Namun, di tengah gencarnya dukungan
pada batik, sungai yang mengalir di sisi selatan Kampoeng Batik Laweyan
justru menjadi rusak keberadaannya. Sungai itu hanya berjarak sekitar
100 meter dari rumah kerajinan Batik Soga Laweyan. Jika Anda berniat
mampir, berbalik badanlah. Berjalanlah ke arah selatan masuk Gang
Trubus yang berada persis di seberang jalan rumah batik tersebut. Anda
akan melihat bagaimana buruknya kondisi sungai.
Persis di samping jembatan yang
menghubungkan Kota Surakarta dengan Kabupaten Sukoharjo itu terdapat
aliran selokan yang menjadi jalur pembuangan limbah batik. Warna airnya
kerapkali berganti. Terkadang airnya seperti bercampur dengan semen atau
tepung. Pertemuan arus kecil itu menimbulkan buih dan busa. Kondisi ini
diperparah oleh sampah-sampah rumah tangga yang sengaja dibuang ke
sungai.
Dari arah hulu, sungai yang
mengalir ke arah Baron, Tipes, hingga ke Gading dan bermuara bermuara ke
Sungai Bengawan Solo ini telah berwarna pekat. Sepintas melihat kondisi
airnya, hampir dipastikan tidak ada makluk yang bisa bertahan hidup,
kecuali jentik-jentik nyamuk yang hidup di air genangan limbah rumah
tangga. Hanya ikan sapu-sapu yang bisa bertahan hidup dan bahkan semakin
berkembang biak di air limbah tersebut. Ikan, udang, yuyu, dan binatang
lain telah lenyap dari jejaring kehidupan sungai. Jika hidung sedang
tidak mampet, bau busuk sungai yang mengalir di sebelah selatan Kampoeng
Batik Laweyan ini tercium hingga jarak 300 meter. Kondisi air semakin
buruk, pekat, dan busuk di musim kemarau seperti sekarang. Nyamuk di
rumah-rumah warga sepanjang sungai pun luar biasa banyaknya.
Kontras jika libur lebaran tiba. Biasanya, beberapa hari aliran
air sungai terlihat jernih walau kehijauan. Bebatuan di dasar sungai
tampak jelas tidak seperti hari biasa. Hal ini mengingatkan saya pada
masa lebih dari 15 tahun lalu. Anak-anak masih bisa bermain di jernihnya
air sungai. Bersama teman-teman sebaya, selepas pulang sekolah
menjaring udang dan ikan. Di sepanjang sungai terdapat sumber air
‘belik’ yang sangat jernih. Menurut Pakdhe Hadi ‘Tempe’ yang pernah
menjadi juragan tempe, dahulu kedelai yang hendak dibuat tempe dicuci di
sungai ini. Hampir semua warga yang tinggal di pinggir kali memanfaatkan belik untuk mandi. Saat ini, tidak dilarangpun anak-anak wegah bermain walau hanya di pinggiran sungai karena baunya menusuk hidung.
Lebih ke hilir lagi, kondisi sungai
lebih parah. Semasa kanak-kanak, PT Batik Keris yang berada di
Kabupaten Sukoharjo langsung membuang limbahnya yang masih panas ‘mongah-mongah’
lewat parit selebar dan setinggi sekitar satu meter. Warna air yang
keluar dari lubang-lubang selokan pabrik itu berwarna-warni. Sebagian
warga di sekitar pabrik sering memanfaatkan parit air limbah menjadi
tempat buang hajat, termasuk saya yang kanak-kanak saat itu.
Meskipun Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) sudah dibangun di kawasan Kampoeng Batik Laweyan pada
tahun 2008, upaya ini masih kurang optimal. Diakui atau tidak,
industri-industri besar di luar Kota Surakarta turut menyumbangkan
limbahnya mengalir hingga ke Sungai Bengawan Solo yang masyur itu.
Upaya pengolahan limbah ramah
lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota Surakarta.
Pengolahan limbah batik agar lebih ramah lingkungan harus menjadi
perhatian bersama. Perlu perhatian dan kerjasama semua pihak, baik
Kabupaten atau Kota yang berbatasan dengan Kota Surakarta, serta
pemerintah pusat untuk mencari solusi bersama mengelola limbah batik
lebih ramah lingkungan.
Pelestarian batik oleh Pemerintah Kota Surakarta sangat penting diapresiasi dan didukung. Namun, stigma yang menyebut bahwa selain menjadi warisan budaya dunia, limbah batik juga menjadi warisan dunia harus segera dihentikan.
*Warga pinggir kali yang terpapar limbah batik
Sumber: http://green.kompasiana.com
Komentar
Posting Komentar