Ibu... Jagalah Lisanmu

Kita tentu pernah mendengar kisah Malin Kundang. Seorang anak yang durhaka terhadap ibunya dan hidupnya berakhir menjadi batu, karena lisan ibunya.

Kisah ini bagaimanapun memang hanya sebuah legenda yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, namun satu hal yang perlu dicermati adalah luar biasanya pengaruh lisan ibu terhadap anak. Dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang kita jumpai seorang ibu yang jengkel atas kenakalan dan kesalahan anak-anaknya hingga ia mencela dan mencaci mereka. Kata-kata yang kotor (tidak pantas) pun keluar dari bibirnya. Seringnya hal ini terjadi, tak pelak menjadi kebiasaan. Sang ibu-pun tidak lagi merasa bersalah ataupun berdosa atas perbuatannya.

Tidak bisa dipungkiri, beban ibu rumah tangga tidaklah ringan. Ibarat pekerja, ibu mempunyai jam kerja yang tidak terbatas, tak seperti layaknya wanita karir kantoran yang mempunyai jadwal kerja antara 6 sampai 8 jam. Selepas itu ia bisa beristirahat dengan tenang. Sedangkan bagi ibu yang memiliki anak haruslah berjaga hingga 24 jam, belum lagi harus melayani suami, memasak, mengurus rumah, menyetrika, dan lainnya.

Beruntunglah para ibu yang suaminya menyediakan khadimah atau pembantu di rumah untuk meringankan tugasnya. Namun bagaimana bila sang suami tidak mampu? Tentu dialah yang harus menyelesaikan tugas itu sendirian. Dan biasana bila sang ibu sudah pada fase kelelahan yang sangat, kondisinya menjadi labil. Sedikit saja buah hatinya melakukan hal-hal yang menurutnya tidak sewajarnya, maka emosinya mudah tak terkontrol, gampang meledak. Buntutnya keluarlah cercaan, cacian, makian, laknat dan sumpah yang tidak baik kepada anak-anak mereka. Ironisnya banyak orang yang mendengar kadangkala hanya mendiamkan saja, karena dianggap hal yang wajar. Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini?

PENGARUH PADA ANAK

Cacian dan makian yang dilontarkan kepada anak-anak adalah salah satu faktor terburuk yang menyebabkan penyimpangan psikologis anak, bahkan merupakan faktor terbesar dalam mewujudkan rasa rendah diri. Jika sekali saja anak berbuat bohong, maka kita memanggilnya si pembohong. Sekali saja anak memukul adiknya, kita menyebutnya anak nakal. Jika anak mengambil uang dari saku ayahnya, maka ia dipanggil sebagai pencuri. Dan apabila anak dimintai tolong tapi ia tidak mau, maka ia dijuluki pemalas. Tak jarang cairan dan makian ini terjadi di depan orang lain.

Tidak diragukan lagi perlakuan seperti ini merupakan salah satu faktor penyebab anak memandang dirinya sebagai orang yang hina dan tak berarti. Ini juga akan melahirkan gangguan-gangguan psikologis di dalam jiwa anak yang mendorong untuk memandang orang lain dengan pandangan yang sinis, dengki, dan melarikan diri dari kehidupan serta tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul. Tidak aneh jika kita melihat mereka akan menjadi penyakit bagi masyarakat.

Dari sini dapat kita ketahui bahwa tidak ada harapan yang dapat kita petik dari anak-anak, jika kita melemparkan mereka pada suasana pendidikan yang merusak dan membahayakan. Bagaimana mungkin kita akan mengharapkan anak-anak mampu memiliki ketaatan, kebaikan, kehormatan, dan ke-istiqamah-an, sedang kita sendiri telah menanamkan benih penyimpangan dan kedurhakaan di dalam jiwa mereka pada..?! Masya Allah! Sepertinya hanya kecil kelihatannya, namun begitu besar akibat yang ditimbulkan oleh kata-kata. Sungguh, pada mulut kita terletak surga dan neraka kita, sekaligus surga dan neraka anak-anak kita.

KENDALIKAN DIRI

Beratnya beban Ibu, tak seharusnya menjadi alasan kewajaran untuk mencela anak saat marah. Itu berarti keimanan memiliki peranan yang besar. Karena keberadaan iman akan membuat kita senantiasa merasa berada dalam 'pengawasan Allah'. Dan tak ada tempat bagi kita untuk melanggar hukum Allah. Sehingga perbuatan dan lisan kita pun terkontrol.

Islam telah memerintahkan kepada setiap orang yang mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan mengarahkan, terutama para ibu, untuk memiliki akhlak luhur, sikap lemah lembut dan perlakuan kasih sayang. Allah SWT berfirman : "dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (TQS. Ali Imran : 134). Dan firman-Nya : "serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia." (TQS. Al-Baqarah : 83). Demikian pula sabda Nabi Saw : "Sesungguhnya Allah Menyukai kelemah lembutan di dalam seluruh perkara." (HR. Bukhari).
Islam juga melarang orang tua melaknat anak-anak mereka, bukan hanya itu kita pun dilarang menyumpahi diri kita sendiri ketika kita marah karena sesungguhnya kita tidak mengetahui kapan saatnya perkataan ataupun do'a (baik maupun buruk) yang kita ucapkan akan di kabulkan.

Dari Jabir bin Abdullah ra., dia menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda : "Janganlah kalian menyumpahi diri kalian, dan jangan pula menyumpahi anak-anak kalian dan harta kalian, kalian tidak mengetahui saat permintaan (do'a) dikabulkan sehingga Allah akan mengabulkan sumpah itu" (HR. Muslim).
Jauhnya ibu dari Din yang mulia ini akan menyeretnya ke dalam dosa dan maksiat. Karena itu wajiblah baginya mempelajari agama ini agar terhindar dari apa yang di haramkan Allah dan senantiasa mengerjakan apa yang di perintah-Nya. Ibu, tetaplah semangat menuntut ilmu syariat agar Allah selalu membimbingmu.

 Kondisi lelah seringkali memicu seseorang mudah marah. Karena itu kerjakanlah pekerjaan rumah tangga apa yang ibu sanggup, jangan memaksakan diri. Tidurlah segera ketika anak-anak tidur sehingga ibu mempunyai waktu untuk beristirahat, dan tentu saja kerja sama antara suami istri sangat penting sekali dalam rumah tangga. Berilah pengertian kepada suami mengapa ibu tidak bisa menyelesaikan tugas rumah tangga dengan penjelasan yang baik dan cara yang hikmah. Insya Allah suami akan mengerti. Jangan lupa berdo'alah kepada Allah agar Dia Yang Maha Kuasa merubah kebiasaan buruk ini sesungguhnya hati Ibu dalam genggaman-Nya.

Sumber : catatankakaku.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

80 Gambar Cewek Fantasi Tercantik

6 Selebriti Cantik Ini Suka Pamer Payudara Indah di Media Sosial